Monday, February 13, 2012

Memilih Sekolah: Antara Saung Sawah dan Gedung Megah





Once upon a time in Kuningan, West Java …
#stel gamelan degung Sunda Sabilulungan

Siang itu, ahad 2 Januari 2011, sekitar pukul 10 awan putih menutupi langit Kuningan, walaupun begitu udara sudah terasa hangat. Jalan raya Jalaksana jalur Cirebon arah Kuningan terlihat lebih ramai. Di pertigaan Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, sekitar 20 km arah utara dari kota Kuningan, terlihat beberapa mobil plat B berbelok menuju arah barat, agak menanjak. Kebanyakan jenis minibus atau van. Saya menduga mereka adalah keluarga besar pesantren Husnul Khotimah. Hari Sabtu sebelumnya adalah hari pembagian raport. Hari ahadnya adalah hari terakhir libur semester Saat itu saya sedang memegang setir mobil, meluncur menuju Karawang setelah menjemput 3 anak saya liburan di kampung halaman. Di desa Cipondok, 3 km arah selatan kota Kuningan.

Kini Husnul Khatimah memang menjadi jujugan banyak orang tua yang menginginkan pendidikan terbaik buat putra putrinya. Menjadi obsesi. Adik saya yang keempat juga alumnus Husnul. Jadi ikut juga merasakan betapa Husnul Khatimah memang sebuah tempat pendidikan ideal. Pesantren impian.
Melihat fisik dan suasana saja, orang sudah merasa tentram ada di sana. Gedung-gedungnya bagus, besar, indah, dan bersih terawat, termasuk asrama santrinya. Ada masjid besar yang indah dan megah dipadu pepohonan nan sejuk menjadikan area lahan pondok yang luas itu menjadi eksotik.Untuk sebuah sekolah, masjid itu termasuk besar dan megah. Saya melihat masjid itu mewakili visi pengelolanya. Karena masjid itulah saya langsung jatuh cinta.

Lokasi Husnul Khatimah memang ideal. Bila kita memandang ke arah barat, akan terlihat gunung Ciremai yang menjulang. Turun sedikit arah timur ada kolam renang Cibulan yang nihil dari bau kaporit dengan banyak ikan Dewa berukuran besar yang dibiarkan berenang bebas. Semua serba alam. Rimbun dan menyejukkan. Lokasi pondok juga tidak begitu jauh dari jalan raya. Bisa jalan kaki.
Melihat ustadz-ustadzahnya rasa tentram semakin terasa ke sumsum tulang. Ramah, bersahaja, namun penuh wibawa. Mereka kebanyakan masih muda-muda dengan pancaran optimisme. Jangan tanya tentang komitmen, mereka adalah guru 100% itu.

Beberapa teman seperjuangan di STAN dulu menyantrikan putra-puterinya di sana. Sebenarnya kalau waktunya bertepatan sekalian bisa jadi ajang reuni dan kangen2an. Tak ketinggalan pula teman dari Karawang, sudah mulai mengisi daftar keluarga besar Husnul Khatimah.

Walaupun relatif jauh dari Jakarta, namun daya tarik Husnul Khatimah memang luar biasa. Walaupun ada banyak sekolah favorit, SekoIslam Terpadu dan boarding school, tapi satu kursi bangku di Husnul Khatimah tetap diperebutkan setiap tahun. Rupanya kalau sudah berurusan dengan mendapatkan sekolah terbaik, tidak ada kamus ukhuwah (persaudaraan) disana. Apalagi itsar (mendahulukan saudaranya). Semua ingin anaknya-lah yang lolos dan diterima. Walau harus merogoh dana delapan digit rupiah, demi ananda tercinta semua akan diupayakan.

Seirama dengan Husnul Khatimah adalah mulai bermunculan sekolah-sekolah yang dikelola swasta (masyarakat) yang lebih dipilih ketimbang sekolah negeri. Diantaranya di Subang ada Asy-Syifa Al Khairiyah. Di Bekasi ada Yapidh dan Thoriq bin Ziyad. Ada Al Kahfi di Bogor dan lainnya. Lebih senior adalah Al Azhar yang banyak tersebar. Ada juga Al Zaitun di Indramatu dan Gontor Negeri 5 Menara Ponorogo. Sepertinya ada sebentuk kekurangpuasan atas hasil sekolah negeri yang membuat para ortu memilih sekolah swasta walau relatif lebih mahal biayanya.

Nah, saat pegang setir Phanter itu, nyonya permaisuri tiba-tiba berujar lirih:”mereka terlihat berupaya yang terbaik buat anak-anaknya ya, Bi, kelihatannya tinggal kita yang belum”. Saya hanya tersenyum kecut. Diam.
Memang ada semacam perang pendapat antara saya dan nyonya. Itu adalah percakapan yang kesekian kali tentang sekolah masa depan itu. Ia memang termasuk yang naksir ke Husnul Khatimah untuk si Teteh. Tahun 2011 memang waktunya masuk SMP. Masalahnya, saya sebagai pemimpin di keluarga keukeuh dengan keputusan untuk memasukkan si Teteh ke SMP Amani Karawang. Sebuah sekolah rintisan yang masih baru, dan aneh.

SMP Amani dibanding Husnul Khatimah memang tidak ada apa-apanya. Masjid di Amani cuma sebuah saung ukuran 3×3m persegi. Luas total kompleks cuma sekitar 1.400 meter persegi. Hanya seluas lapangan olah raga di Husnul Khatimah. Di Amani rerimbunan pohon hanya diwakili sebuah pohon mangga. Lainnya masih baru menanam. Masih pendek-pendek. Kalau ada banjir besar seperti April 2010 kemarin, pohon-pohon itu terancam punah, senasib dengan “mendiang” pohon duren yang ditanam Bang Lendo Novo, saat openhouse tahun 2008 lalu.

Suhu lingkungan Amani juga tidak sejuk. Sebagaimana iklim di Karawang yang “hangat”, cukup membuat keringat berderas kalau ada sedikit gerakan saja. Pasang AC juga tidak mungkin. Bangunannya saung. Namanya juga sekolah alam. Koq pake AC?

Tapi sebenarnya ada kemewahan ala sekolah alam yang sulit didapat di tempat lain, salah satunya adalah gemerisik pepohonan dan pemandangan terbuka yang dinikmati saat belajar. Juga tanpa seragam sekolah. Jadinya suasana seperti bermain. Menyenangkan.

Kepercayaan Yang Sederhana Itu…

Tiba tiba saya teringat percakapan dengan Mas Budi Setyantono,tetangga saya di Perumnas Karawang saat bertemu pagi-pagi mau beli sayur. Beliau adalah orang tua dari Ita, anak kelas 7 SMP Amani. Ita adalah satu dari empat orang siswa kelas 7. Memang angkatan ketiga SMP Amani cuma dapat murid empat orang. Sepertinya ada yang kurang tepat strategi marketingnya. Saat itu Mas Ridwan baru saja mengundurkan diri dari posisi sebagai Kepala Sekolah SMP Amani. Keputusan itu terlihat membuatnya resah. Mas Budi seolah menangkap ada “sesuatu” di SMPAmani.

Brother Ridwan katanya mengundurkan diri ya Pak Soleh? itu kalimat dari Mas Budi. Pertanyaannya sederhana saja. Saat itu saya spontan menyampaikan ” Nggak apa-apa Mas Budi, saya sudah dialog langsung dengan Brother, juga dengan guru-guru Amani, semuanya baik-baik, nggak ada masalah”. Saya juga sampaikan sikap saya: ” Anak saya nanti tahun ini nyusul mbak Ita ya, insya Allah”. Mas Budipun kembali tenang hatinya.

Kepercayaan mas Budi ke SMP Amani ini ternyata lebih memengaruhi saya ketimbang berbondong-bondongnya kawan-kawan ke Husnul Khatimah di Kuningan atau Asy-Syifa di Subang yang eksotik itu. Lebih kuat dari daya tariknya ketimbang kemegahan gedung dan kelengkapan sarana di sekolah-sekolah favorit dan RSBI.

Meminjam istilah sastrawan Sapardi Joko Damono, kepercayaan Mas Budi ini adalah sebentuk kecintaan yang sederhana. Prinsipnya, kalau itu para aktivis dakwah yang buat, insya Allah bagus. Simpel bukan? Sekolah Alam Amani memang didirikan oleh beberapa aktivis di Karawang.

Mas Budi ini menyusul langkah Pak Muji, tetangga sebelahnya yang lebih dulu memasukkan Wulan sebagai angkatan pertama SMP Amani. Dan sayalah yang mengompori Wulan dan Pak Muji buat bersekolah di SMP Amani angkatan pertama. Wah, bisa dianggap calo kalau saya cuma ngomporin doank.
Lagipula, bagaimana bisa saya mengkhianati kepercayaan Mas Budi dan Pak Muji yang tulus seperti itu? Dengan mengatakan “anak saya gak jadi ke SMP Amani Mas Budi, jadinya ke Husnul Khatimah” umpamanya. Rasanya saya tidak bisa seperti. Tidak tega.

Dalam banyak kasus, keberhasilan sebuah rintisan adalah pada kepercayaan masyarakat. Kalau kita kehilangan orang-orang yang kecintaan dan kepercayaannya seperti mas Budi ini, jangan mimpi ada sekolah sekaliber Husnul Khatimah atau Gontor berdiri di tempat kita. Karena semuanya berawal dari angka nol, kemudian angka 1, 2 dan seterusnya.

SMP Amani telah memulainya, dan tentu butuh kepercayaan itu. Di samping itu saya sudah menaruh hati pada konsep sekolah alam yang diusung SMP Amani. Jadi walau masih merintis, saya berfikir sangat layak untuk dipilih. Dan saya harus mencoba untuk belajar memercayai seperti Mas Budi dan Pak Muji itu.
Ya Husnul Khatimah adalah pesantren impian, tapi SMP Amani lebih memerlukan dukungan…

Bagaimana pendapat Anda?

Solihudin , 13022012, @Karawang

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...