Ini adalah tulisan yang saya kirim untuk Proyek Nulis Buku Bareng, sebuah grup di Facebook. Alhamdulillah bukunya sudah terbit judulnya jadi “Masa Kecil yang Tak Terlupa“,
disingkat MKTT. Istimewa karena itulah nama saya nangkring sebagai
penulis. Walaupun keroyokan tapi tetap tak mengurangi kebanggaan. Disitu
saya menulis tentang pengalaman mas kecil saya bersama Abah (kakek) di
kampung halaman. Masa indah yang tak terlupakan. Yap…silakan membaca,
mudah-mudahan berkenan.
* * * *
Masa kecil saya sebagian besar dihabiskan di kampung, sebuah desa
kecil di selatan Kuningan. Tinggal bareng Abah (kakek) dan Emma (nenek).
Abah saya biasa dipanggil Abah Ndim, lengkapnya Dimyati. Walaupun sudah
rumah ortu sendiri tapi dempet dengan rumah Abah, dan ada pintu buat
lalu lalang ke rumah Abah. Jadi seperti satu rumah saja. Otomatis banyak
waktu dihabiskan bareng Abah. Apalagi Bapak lebih sering di Jakarta
buat berdagang. Pulangnya sebulan sekali. Dengan kebersamaan seperti itu
tentunya kecil saya belajar banyak hal dari Abah. Sederhana tapi amat
berkesan, dan menjadi pengalaman yang ikut membentuk wawasan dan
karakter.
Lingkungan pedesaan memang menyediakan ruang yang luas untuk
bereksplorasi. Keadaan alam yang masih alami dan keterbatasan sarana
menjadi tantangan tersendiri. Sekaligus memicu kreativitas. Nah, dalam
mengatasi keadaan inilah Abah mengajarkan banyak hal. Saat itu waktu
yang tersedia lebih leluasa dibanding anak-anak sekarang yang terlalu
banyak dijejali pelajaran sekolah dan PR. Saat saya SD pelajaran sekolah
tidak terlalu padat. Waktu belajar di alam jadinya lebih banyak.
Abah-pun jadi salah satu gurunya.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, Abah mengajarkan untuk memenuhinya
dari potensi sekitar. Sebagaimana orang Sunda yang dikenal amat gemar
dedaunan. Abah rajin bertanam apa saja. Sayur dan dedaunan yang bisa
dikonsumsi bermacam macam. Misalnya daun singkong, daun labu, daun
pepaya, kangkung, puring, kemangi, kacang panjang, ketimun, terong,
sampai leunca. Rupanya itu berpengaruh pada Ibu. Ia jadi perempuan
Sunda sejati, nggak boleh lihat daun hijau, pengennya langsung bikin
sambel, he he.
Untuk kebutuhan protein, Abah membuat kolam ikan di pekarangan dan
beternak ayam kampung. Dari kolam itu Abah mengajari saya bagaimana
menangkap ikan dengan jaring, dan pancing. Juga memotong dan
membersihkan ikan. Abah juga mengajari membuat jaring ikan. Di kampung
saya nama jaring itu ecrak. Saya masih ingat cara melempar ecrak hingga
ketika mendarat di permukaan air menjadi terbuka dan melebar membentuk
lingkaran. Betapa senangnya saat melihat ikan bergelantungan terjaring
ecrak.
Kalau dari peternakan ayam, saya belajar dari A hingga Z tentang
ayam. Dari telur, bagaimana ayam mengeram, menetas, tumbuh dan
berkembang hingga menyembelih , memasak dan menyantapnya. Abah juga
mengajari bagaimana membuat kandang ayam. Karena semua bisa dikerjakan
Abah.
Kebutuhan pokok sehari-hari disuplai dari padi hasil dari sawah yang
dikelola sendiri. Abah mengajari bagaimana proses bertanam padi, mulai
dari mencangkul sawah, menanam bibit, menyiangi gulma dan rumput,
mengairi, hingga panen. Dari ikut Abah itu saya bisa memotong padi pake
ketam dan sabit. Merontokan bulir padi, menjemur hingga kering , untuk
kemudian membawa ke heuler (penggilingan). Dari heuler barulah jadi
beras. Ada limbahnya berupa beunyeur (bulir padi yang kecil karena
terpecah saat masuk ke mesin heuler) dan huut atau bekatul. Limbahnya
dimanfaatkan buat pakan ayam dan ikan.
Sedangkan untuk menghasilkan uang tambahan, Abah menanam beberapa
pohon cengkeh untuk dijual bunga-keringnya. Dulu sebelum ada BPPC-nya
Tommy Suharto, cengkeh menjadi komoditas pavourit karena bisa
mendatangkan uang cukup lumayan. Tapi saya mendapatkan uang harus dari
usaha sendiri, karena Abah tidak memberi dari hasil jualan cengkeh
keringnya. Tapi memberi uang dari upah memetik cengkeh, atau hasil dari
memungut bunga cengkeh yang berjatuhan di tanah. Abah memberi pelajaran
bagaimana menghasilkan uang dari keringat sendiri. Rasa senangnya tak
terhingga saat menerima uang dari hasil jualan cengkeh kering itu.
Di kebun cengkeh itu saya juga tahu proses tumbuh cengkeh, dari biji
hingga muncul tunas, tumbuh dan membesar jadi pohon. Disamping itu Abah
juga mengajarkan bercocok tanam lainnya. Menaman singkong, ubi jalar,
pohon jambu, mangga, sampai Labu Siam. Juga pohon pisang dan pepaya
hingga kelapa. Saya jadi punya pengalaman memanjat pohon kelapa yang
cukup tinggi, sekitar 10 meter-an hingga ujung dan merasakan adrenalin
di ketinggian. Lalu tangan kanan memetik buah kelapa sedang tangan kiri
memegang pohon agar tidak jatuh. Kalau sekarang sepertinya sudah tidak
sanggup lagi. Kaki langsung gemeteran hebat begitu naik sedikit saja.
Abah sempat mengajarkan investasi sederhana dan berfikir jangka
panjang. Untuk kebutuhan hajatan Khitan, begitu saya lahir dibelikan
beberapa ekor ikan Gurame yang masih kecil. Gurame itu tidak diambil
hingga waktunya saya dikhitan. Jadi waktu saya dikhitan umur 10 tahun
saat kelas 4 SD, itulah umur ikan gurame yang dihidangkan. Karena umur
segitu tentu si ikan sudah besar dan tua, tandanya di kepala sudah udah
ada nonong-nya seperti ikan Lou Han. Walaupun dagingnya sudah agak
liat, tapi jadinya istimewa, karena jadi menu khusus buat sang
pengantin sunnat. Jadi, selain uang nyecep yang didapat dari tamu yang
datang, saat di sunat yang berkesan adalah hidangan gurame dan daging
ayam jago spesial.
Kebutuhan kolam dan MCK di atasi dengan mendatangkan air dari sumber
alami. Waktu itu PDAM belum ada atau belum menjangkau kampung saya. Air
diperoleh dari mata air yang muncul di beberapa titik di pesawahan yang
terhampar di kaki Gunung Ciremai. Mata air terdekat jaraknya lebih
kurang 400 meter dari kolam. Waktu itu pipa besi belum terbeli karena
mahal. Sedangkan pipa paralon rawan pecah karena melintasi lahan orang
dan jalan. Pilihannya adalah pipa bambu. Kebetulan bambu banyak tumbuh
di kebun milik Abah.
Saya jadi belajar menebang bambu pake golok. Membawanya dengan
memanggul dari kebun ke rumah yang jaraknya sekitar satu kilometer.
Bagaimana menjadikan bambu jadi pipa? ada alat khusus namanya rorojok
untuk melubangi buku bambu. Dimulai dari ujung yang satu hingga tembus
ujung satunya. Caranya dengan ngarojok atau menusuk berulang-ulang
hingga buku bambu tertembus. Ujung rorojok terbuat dari besi mirip paruh
bebek yang ujungnya pipih dan tajam. Sedangkan bagian batang rorojok
terbuat dari belahan bambu panjang.
Setelah jadi pipa, bambu-bambu tersebut di sambungkan di bagian
ujung dengan bagian pangkal bambu berikutnya. Di sambungan itu agar
tidak bocor disumpal pake sabut kelapa, atau bisa juga pake plastik dari
kantong kresek. Agar tidak pecah, di pangkal bambu diikat pake tali
dari bilah-kecil-panjang- pipih dari bahan Bambu Tali. Jadinya
sambung-menyambung dari mata air hingga ke kolam dan WC. Dan hasilnya
adalah air pancuran yang mengalir terus dan mengeluarkan bunyi air yang
khas. Karenanya setiap mendengar bunyi air pancuran, ingatan saya akan
terbawa terbang hingga ke kampung halaman.
Makanya, saya sangat terpukul saat Abah meninggal tahun 1991 karena
sakit, waktu itu sedang libur sekolah saat SMP kelas 2 ke Jakarta.
Jadinya tidak sempat melepasnya saat meninggal. Tiba di rumah sudah
dikuburkan. Tentu sangat kehilangan. Abah adalah salah satu guru masa
kecil saya yang hebat dan serba bisa.
Karawang, 7 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid...
-
"𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖...
No comments:
Post a Comment