Monday, June 10, 2024

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

 


Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahanan keluarga,' 'membentengi masyarakat' atau 'perlindungan'?


Memang benar, ada upaya, keinginan dan proyek besar untuk menghancurkan keluarga. Tentu ini dapat menjadi fitnah yang begitu dahsyat. Proyek ini pada dasarnya adalah bagian dari penyingkiran agama dari kehidupan masyarakat. Karena selama keluarga masih ada, maka agama akan sulit untuk diserang. Maka, siapapun yang ingin menghancurkan agama, maka seranglah dulu keluarga. Hancurkan dulu keluarga. Rapuhkan dulu ketahanan keluarga.


Bahkan, kita tidak sadar bahwa betapa banyak  undang-undang yang berhubungan dengan lembaga keluarga dan gender/ jenis kelamin itu banyak juga yang ditujukkan untuk melemahkan keluarga. Sebab, keluarga itu jika bisa memang harus diintervensi, sehingga virus pelemahan masyarakat bisa dimasukkan tanpa hambatan besar yang bernama lembaga keluarga itu. Sekuat apapun sesuatu kalau sudah dimasuki virus, maka dia akan menjadi lemah.


Maka, kemudian undang-undang tentang perlindungan seksual dan segala macam kejahatan seksual justru malah berdampak pada bagaimana keluarga itu dapat dibuat berantakan. Segala kampanye yang membuat para perempuan nyaman di luar rumah, tanpa sadar itu bagian juga dari upaya untuk kehancuran keluarga. Sekarang telah diupayakan begitu rupa alasan yang menyerukan bahwa: "wahai kaum ibu, keluar rumah sekarang sudah semakin aman dan nyaman, maka jangan lagi khawatir. Sekarang, bukankah di Busway juga sudah ada bagian khusus perempuan? Selain itu, bukankah di commuter line juga sudah ada gerbong khusus wanita?"


Jadi, sekarang perempuan telah semakin aman dan terlindungi ketika berada di luar rumah. Ini dibuat dalam rangka memprovokasi perempuan agar keluar rumah. Tidak lagi seperti dulu ketika para perempuan diancam dengan berbagai bahaya jika bepergian sendirian keluar rumah.


Keluarga juga perlu perlindungan. Karena bahkan definisi keluarga juga berusaha untuk diubah. Bahwa keluarga itu mulai diwacanakan tidak selalu identik tentang seorang laki-laki dan perempuan. Saat ini, dengan gerakan LGBTQ, definisi keluarga itu bisa menjadi seorang laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan.


Dari Ketahanan Keluarga menuju Keluarga Peradaban


Semakin diserangnya gagasan tentang keluarga di atas, semestinya tidak disikapi dengan menangis dan terus menangis. Justru lebih baik kita membangun sesuatu yang besar ke depannya. Bahkan dengan nada yang sangat optimis. Bahwa ada yang bisa kita lakukan, yaitu membangun keluarga peradaban. Ini adalah sebuah gagasan yang lebih progresif: sebuah gagasan yang berpikir tidak semata mata "hati-hati ada ancaman, ada bahaya dan ada masalah ini dan itu yang mengintai keluarga!"


Walaupun bahaya yang mengancam keluarga itu memang ada dan itu luar biasa. Tetapi, tak perlu terus-menerus ditangisi. Karena perintah di dalam Islam itu yang lebih dulu adalah amar ma'ruf, baru nahi munkar. Maka kita seharusnya lebih borientasi kepada yang pertama: amar ma'ruf dulu. Baru nahi mungkar.


Definisi dari 'taqwa' masihlah berbunyi, 'melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang Allah.' Urutan ini tidak pernah dibalik sampai sekarang: menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Akan tetapi, mentalitas pengajaran Islam di sekolah seringkali membalik urutan itu. 


Agama kita sebenarnya meminta kita untuk berpikir lebih progresif. Bukan berarti kita kemudian lalai dengan bahaya-bahaya dan lalai dengan ancaman-ancaman, tapi memprioritaskan pengamalan atas hal-hal yang sifatnya progresif itu juga seringkali ada dalam rangka mengatasi ancaman. Percayalah bahwa amar ma'ruf itu adalah nahi munkar terbaik!


Maka, seandainya ada 100 kemungkaran, maka 70 di antaranya dapat diselesaikan lewat amar ma'ruf dan barulah 30 sisanya yang akan diselesaikan lewat nahi munkar. Di dalam sepak bola atau dalam peperangan seringkali dikatakan bahwa menyerang itu pertahanan yang terbaik


Ketika Allah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, maka shalat itu adalah pertahanan yang terbaik terhadap kemungkaran dan kekejian. Amar ma'ruf yang bernama shalat itu diperintahkan untuk dilakukan dalam rangka mencegah dari kemungkaran. Itulah mengapa kita harus berbicara tentang keluarga dalam perspektif yang sangat optimistik, tanpa kehilangan kesadaran atas ancaman yang memang nyata-nyata mengancam keluarga itu sendiri.


Ancaman terhadap keluarga itu memang harus diakui sedang dilancarkan dengan dahsyat-dahsyatnya pada saat ini. Barangkali, dalam kesempatan lain, bijak pula bagi kita untuk berbicara tentang sikap waspada terhadap ancaman-ancaman ini, untuk memperingatkan masyarakat agar waspada, menangkal dan melawan bahaya itu semua. Tapi, dalam tema yang sedang kita bangun ini, kita harus begitu fokus dahulu untuk berbicara tentang sudut pandang yang lebih progresif dan optimistik tentang keluarga: keluarga peradaban.


Jadi, kita harus berbicara tentang keluarga untuk masa depan. Ini adalah tentang keluarga untuk peradaban, keluarga untuk amar ma'ruf nahi munkar, di mana amar ma'ruf dilaksanakan dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan barulah kemudian menekan larangan-larangannya. Barulah setelahnya kita pantas berbicara mengenai menghancurkan kebatilan dan kemungkaran. 




-------

Dirangkum dari buku Keluarga Peradaban, karya Drs. Adriano Rusfi, Psikolog.


Wednesday, November 24, 2021

MUTASI PONTI


"π‘€π‘œπ‘šπ‘’π‘› π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘–π‘›π‘‘π‘Žβ„Ž π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘ π‘šπ‘Žπ‘›π‘’π‘ π‘–π‘Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘˜π‘’π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘› π‘˜π‘’ π‘›π‘’π‘”π‘’π‘Ÿπ‘– π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘˜π‘’π‘‘π‘Žβ„Žπ‘’π‘–." - π‘†π‘–π‘Ÿ π‘…π‘–π‘β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘‘ π΅π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘œπ‘›

***

Tak ada hujan tak ada angin. Kabar itu memang datang tiba-tiba. Jum'at malam 1 Oktober 2021, bakda magrib pengumuman itu muncul. Lewat postingan di grup WA kantor. Aku buka file pdf, ada 2.793 nama yang muncul. Ini mah mutasi nasional atuh!?  
Langsung kuketik namaku di menu search, dan...Pontianak??!!
Perputaran bumi pun seakan berhenti sejenak. 

Itulah sebuah Surat Keputusan. Entah apa variabel untuk menempatkan Si A di Kota B atau Si C di kota D. Tapi itulah yang akan membuat perjalanan hidup para insan fiskus tiba-tiba berbelok. Rute hidup yang sejak awal memang harus siap tidak lempeng-lempeng saja. Sesuai kesanggupan di awal jadi Pe eN eS Kemenkeu. Kadang menikung tajam lalu langsung mendaki. Mirip Kelok 9 Payakumbuh atau tanjakan menuju Gunung Bromo di Probolinggo itu. 

Tantangannya, ganti kota adalah ganti warna kehidupan. Kehidupanku di Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Karawang adalah kehidupan dengan cita rasa yang berbeda. Selama ini pindah kota selalu pindah rumah. Selalu boyongan barang satu rumah. Dari pake pick-up hingga pake truk. Tentu akan berbeda lagi ketika berganti dengan Pontianak, terutama karena tak ada acara pindah rumah. 

Maka, malam itu tak kuberi tahu dulu ke nyonya. Memberitahukan hal besar yang akan membuat kehidupan berubah memang tidak mudah. Aku harus mencari cara paling soft. Sementara aku hanya bisa memutar obrolan:

"Mi, pak M pindah ke Kalimantan."
"Masya Allah, kasihan sekali ya Bu S." Tuh kan belum siap.
"Abi bagaimana?" Tanyanya.
"Ya harus siap atuh. Katanya posisi Abi juga akan berubah jadi fungsional. Pola mutasinya juga akan ngikut." Aku coba memberi jawaban transisi.
"Nggak ngebayang deh jauh dari Abi."
"Nggak usah dibayangin, malah pusing nanti."

Ya karena selama 23 tahun belum pernah LDR-an. Selama itu pula aku selalu berusaha bagaimana caranya bisa tetap kumpul keluarga. Alhamdulillah selama ini bisa. Tapi, akhirnya jebol juga. Bersama 2.792 kawan seperjuangan seperti diaduk-aduk di atas wajan raksasa seluas Nusantara. Arahnya tak beraturan. Dari Bekasi ada yang ke Aceh hingga Papua. Aku dan beberapa kawan ke Borneo. Lalu bertemu kawan yang dari Jombang dan Tulungagung. Juga jadi satu kota lagi dengan suhu Mukhlis Yusrianto yang pernah bertemu di Karawang.

Aku baru bisa memberi tahu istriku besok paginya bakda subuh. Dengan sedikit mengadopsi kisah klasik bagaimana cara Ummu Salamah saat memberitahu kepergian putra mereka ke suaminya yg baru datang dari bepergian. Diawali dengan momen kebahagiaan, barulah pesan disampaikan.

Mutasi begini memang harus disikapi positif. Karena kehidupanku di kantor juga sedang baik-baik saja. Maka aku merasakan ini adalah sebuah peluang. Walau masih misteri berupa apa peluang itu.

Aku juga harus banyak mengambil hikmah. Walaupun harus diawali dengan hectic. Salah satunya aku jadi harus beberes banyak hal yang sebelumnya tertunda terus. Sekarang mau tak mau harus beres. Juga aku harus menyengaja silaturahim ke beberapa titik.

Pertama aku harus meluncur ke Kuningan. Ahad malam berangkat, dan ambil cuti hari senin-selasa. Memberitahu orang tua secara langsung dan tidak lewat WA. Lalu pamit dan minta doa. Ini yang terpenting. Walaupun aku sudah beranak pinak tapi aku tetap saja anak mereka. Sampai sekarang pun aku tetap diperlakukan sebagai anak. Aku memang generasi sandwich. Punya ladang amal di bawah ke anak-anak. Dan ladang amal di atas ke orang tua. Semuanya adalah jalan surgaku.

Juga mesti ada ritual perpisahan. Ada perpisahan seksi. Juga perpisahan kantor. Sedangkan agenda-agenda lain tetap berjalan sebagaimana biasanya. Ada halaqah nasional komunitas parenting Aqil Baligh. Agenda rutin melingkar pekanan jadinya harus offline. Sekalian perpisahan juga.

Sabtu 9 Oktober, aku juga harus meluncur ke Sumedang mengantar Si Aa anak ketigaku ke pondoknya. Setelah seminggu libur PTS. Sekalian memberi kenangan positif. Karena setelah ini, jarak fisik akan semakin menjauh. Juga kesempatan antar jemput ke pondoknya jadi tak menentu.

Lalu lanjut ke UPI. Tepatnya ke tempat kos Si Teteh di Setiabudi, Bandung. Karena perkuliahan relatif sudah selesai. Tinggal skripsi. Hanya sesekali saja harus ke Bandung. Jadinya harus angkut-angkut barang. Ya bantal, buku, hingga meja lipat. Ini mah benar-benar boyongan. Seisi kamar diangkut lagi dibawa pulang. Tapi ini alhamdulillah, saat momen penting begini aku masih bisa hadir. 

Nah, berikut ini yang suka bikin baper. Kalau hendak berjauhan, yang selama ini dianggap biasa saja jadi terasa mahal.
 
Misalnya, saat memandang dari belakang anak keempatku si Abang Uki. Saat berjalan menuju masjid dengan gamis merah hati kesukaannya. Outfit yang membuat dia dikenal bapak2 jamaah masjid Baitul Muttaqin. Nanti aku kan jarang membersamainya saat berangkat ke masjid sambil mendengarkan teka-teki yang sering tak terduga dan absurd.
Tomat itu sayur apa buah?
Ban apa yg bisa dimakan?
Polisi apa yg bisa dimakan?

Untuk Uki ini padahal aku sudah borong tiga buku Abiku Memang Beda. Karena pas momennya utk menerapkan isi buku itu. Ini tantangan, bagaimana ketika harus dipisah jarak?

Nap, Si Bungsu gadis kecilku nanti tak lagi menunggu di depan pintu menyongsong abinya pulang kantor saat WFO. Lalu menghambur memelukku erat-erat. Sambil berceloteh tentang apa saja. Terutama Si Moi kucingnya. Lalu aku tanya tentang ikan koi-nya,"Ikannya sudah dikasih makan, belum?" Momen-momen kecil ini yang nanti akan dikenang indah. 

Imad, akan jadi wali yang mewakiliku. Aku akan banyak berkomunikasi dengan anak mbarepku ini. Sebagai pelindung lima anggota keluarga. Istriku nanti harus memintanya mengambil keputusan setiap ada persoalan. Ini memang akan perlu adaptasi. Selama ini akulah yg mengambil keputusan. 

Aku juga tak bisa membersamai Si Teteh di penghujung kuliahnya. Jadi teman diskusi. Walaupun kenyataannya lebih banyak saling lΓ©dΓ©knya ketimbang diskusinya. Terutama kalau tiba-tiba berbelok tema jadi ngomongin cowok masa depannya. Uminya mengidolakan cowok semodel Osman atau Miran karena terbawa alur cerita drama Turki yang mengaduk-aduk emosi itu. Sementara anaknya mengidolakan bentuk cowok putih terbawa emosi dari drama Korea. Aku jelas merasa tersisih. Kenapa dua orang perempuanku tidak mengidolakan cowok seperti abinya : Sunda, humoris dan sabarπŸ˜€. Cari yang bagaimana lagi? Kurang apa coba? Tapi aku yakin itu hanya hasrat sesaat. Maka kubiarkan saja segala imaginasi mereka itu. Aku harus seperti politisi. Tak perlu baperan.

Terberat sebenarnya ketika menghadapi kenyataan kalau permaisuriku juga seorang perempuan pada umumnya. Karena separuh jiwanya ada di diriku dan separuh jiwaku ada di dirinya. Selama ini kami terjembatani secara fisik. Bertemu setiap hari. Maka begitu harus berjauhan jadi melow berat. Semakin mendekati hari berangkat semakin melow, dan lengket. 

Maka aku puaskan hasrat bersamanya. Dengan keliling ke mana-mana. Makan di resto favoritnya. Belanja bareng. Ngobrol apa saja. Tentu termasuk rencana apa saat berjauhan nanti. Merasakan betapa berharganya saat-saat bersama itu.

Tentu ini memicu protes anak-anak. Karena mereka sudah hapal polanya.
"Tuh, kan jalan-jalan lagi. Kok, nggak ngajak-ngajak?!" Protes Si Teteh.
"Bukan begitu, tadi itu lagi nyopir tiba-tiba hilang kesadaran, tahu-tahu sudah di parkiran Ampera, hehe" jawabku ngawur.
"Heuu...bilang saja udah laper... pingin berdua saja, nggak ada yang ganggu, gituuu" protesnya lagi.
"Itu...udah faham," 
"Tapi, mana oleh-olehnya?" 
"Tuh ada di Umi. Abi kan tau maunya kalian,"
"Hehehe...makasih Abi...makasih Umi…."
Beres dah urusan, kalau ada oleh-oleh.

Tetapi hidup seorang lelaki adalah bertebaran di atas bumi. Mencari karunia dan keutamaan dari Tuhannya. Baik tentang mencari nafkah atau mewujudkan peran-peran peradabannya. Untuk itulah aku dikaruniai sifat maskulin, langkah-langkah panjang, perasan tega, juga rasionalitas.

Ekspresi anak-anakku ternyata tak sama. Dua gadisku merespon dengan menangis. Terasa kalau nggak rela akan ditinggal jauh. Rasanya tak tega juga meninggalkan mereka. Tidak sebentar masalahnya. Entah untuk berapa lama ke depan. Walau akan ada acara pulang entah sebulan sekali. Tapi respon anak lelakiku lain. Tak ada yang menangis. Semua seperti biasa saja. Tapi aku maklumi itu. Sebagai respon wajar dari maskulinitas mereka sebagai anak lelaki.

Terakhir, aku jadi teringat kalau selama ini aku belajar tentang remote fatherhood di majelis Luqmanul Hakim. Bagaimana seorang ayah bisa menjalankan fungsi pendidikan anak walau dari kejauhan. Rupanya aku harus praktek langsung. 

Jadi, setelah Lion Air JT724 membawaku mendarat di kota Katulistiwa, Ahad kemarin, bismillah... inilah awal dari serial Remote Fatherhood edisi Karawang-Pontianak.

Pontianak, 20 Oktober 2021

#RemoteFatherhood
#RemoteFatherhood_01

Friday, November 12, 2021

KAWANKU PAHLAWAN

 

Aku punya kawan. Account Representative di Kantor Fiskus di Cikarang, Bekasi. Sebelah Universitas Presiden. Santai saja dia saat mengatakan ke kasi-nya,"Pak, ada yang mau bayar dua belas miliar." Itu setelah ia himbau Si WP berbasis data informasi keuangan.  Berarti ini masih di tahap persuasi dan himbauan. Belum di tahap adu data dan argumen saat proses pemeriksaan.

Artinya Si WP bisa saja menyampaikan beragam alasan yang rasional untuk menurunkan jumlah yang harus dibayar. Tapi dengan komunikasi yang dijalin, Kawanku ini berhasil membuat Si WP rela menunaikan kewajibannya. Bayar cash langsung. Tanpa dicicil!

Tak ada kehebohan tak ada keriuhan. Hanya wajahnya saja yang menunjukkan ekspresi puas.

Pada satu kesempatan, aku sempatkan bilang ke kawanku ini sebagai bentuk penghargaan atas integritasnya. "You layak dapat bintang integrity award, Bro! Γ‰ntΓ© kerΓ©n banget dah!"

Kawan-kawan fiskus ada puluhan ribu di seantero Nusantara. Mayoritas berintegritas seperti kawanku ini. Integritas yang dijaga dengan ekosistem yang sudah terbangun lama. Selain internalisasi corporate values Kemenkeu, juga sistem pengawasan berlapis. Jangan abaikan juga masjid-masjid yang berdiri hampir di setiap kantor pajak. Masjid yang rata-rata menyelenggarakan jumatan itu secara spiritual ikut mengawal integritas para fiskus. Percayalah, setiap kali diadzani tiap hari syaitan-syaitan penggoda iman itu pasti pada lari tunggang langgangπŸ˜€.

Karena kalau iman lagi lemah, mudah sekali  seseorang yang ada di posisi dan momen seperti kawanku untuk  mengambil "inisiatif". Hal yang biasa berlangsung saat kantor para fiskus masih ada di era jahiliyah dulu. Sebelum reformasi sistemik berjalan efektif. Biasanya dengan alasan agar ada "win-win solution": Negara dapat, fiskus dapat tambahan fresh money, WP juga hemat. Tapi kawanku ini tegak lurus dengan integritasnya. Tak serupiahpun ia ambil kesempatan. 

Aku yakin terlalu  banyak kawan-kawanku lainnya sama integritasnya. Hanya satu dari puluhan ribu fiskus yang masih nekad bermain mata.

Memang hanya integritas yang kokoh yang bisa mencegah praktek busuk tapi lezat seperti di atas. Maka, malulah kalian wahai para penyunat dana bansos atau penikmat gratifikasi fee proyek, juga yang mental jahiliahnya masih bersisa. Mental yang begitu kudis.

Kawanku yang lain tak kalah hebat. Walau masih staf biasa, tapi sudah bisa menembus barikade window dressing di balik angka-angka rumit berbahasa Inggris khas akuntansi di dokumen audit report. Mereka dengan telaten mempelajari proses bisnis WP, hingga sejarah perjalanan usaha, serta siapa partner bisnisnya. Menganalisa semua transaksinya. Lalu menelusuri dan membandingkan neraca dan income statement. Baik vertikal maupun horizontal.

Diantara mereka ada yang menemukan fakta bahwa di balik transaksi yang tercatat rapi, dan benar secara formal dan material itu ternyata ada yang tak wajar. Karena transaksi dalam satu grup perusahaan. Akhirnya, laporan keuangan yang bertahun-tahun menyatakan rugi miliaran secara komersial dan fiskal  itu bisa dikoreksi menjadi profit.

Ya, kawanku yang ini menemukan modus yang merugikan keuangan negara melalui permainan angka, dokumen dan pasal-pasal.

Kalau dilihat lebih dalam lagi kita akan menemukan fakta yang seharusnya bikin kita semakin erat menjaga NKRI.

Misalnya, ketika sumber investasi sebuah perusahaan itu dari modal asing, ternyata kadang kita hanya mendapat keuntungan berupa terbukanya lapangan pekerjaan saja. Sementara PPh 21 yang bayar si pekerja, warga kita juga. Kalau dibandingkan lagi salary pekerja lokal jauh sekali dari ekspatriat. Para fiskus memang kerap mendapatinya saat membaca laporan PPh Pasal 21. Ketika pekerja lokal hanya dapat lima juta, yang eksptariat bisa seratus juta.

Artinya, sebenarnya investor sudah  mendapat keuntungan berupa biaya buruh yang murah. Tapi apa daya kita butuh lapangan pekerjaan itu.

Sementara kewajiban PPN yang bayar konsumen. Sedangkan PPh perusahaannya nihil karena rugi.

Beberapa kawan akhirnya menemukan pola agar Si Investor segera mendapat aliran uang masuk walaupun perusahaan baru berjalan dan mencatat kerugian. Salah satunya dengan mencatatkan piutang dengan beban bunga yg harus dibayar perusahaan yg baru berdiri itu. Ini namanya deviden terselubung. Bisa juga dengan munculnya biaya manajemen fee yang nilainya fantastis. Tapi para fiskus sekarang sudah banyak yang berhasil membongkar transaksi yang tak wajar itu.

Ke depan diharapkan tidak ada lagi pihak  yang dieksploitasi atas nama investasi. Transaksi ekonomi menjadi wajar dan saling menguntungkan. Di tangan para fiskus berintegritas ini, NKRI terasa punya taji. Akupun yakin, para ekspatriat pun akan hormat dengan kemampuan audit para fiskus kita.

Inilah salah satu medan pertempuran era sekarang..

Aku yakin, andai Bung Tomo hidup sekarang, teriakan takbirnya akan makin menggelegar di-boost oleh integritas dan profesionalisme kalian!

Apalagi ketika kalian tetap loyal walaupun ada yang harus mengalami mutasi radikal. Selangit respek untuk kawan-kawan baikku para Account Representative yang hebat-hebat, yang tetap harus berjuang sambil jauh dari keluarga dipisah jarak nan jauh, laut atau selat. Sambil menggigit jari karena penghasilan riil terpaksa harus menyusut digerus ongkos pesawat, sewa kos dan dobel biaya dapur.

Ya, selamat hari pahlawan, spesial buat kawanku para fiskus, para pahlawan APBN!

....

Selat Sunda, Hari Pahlawan 10.11.2021


 


Wednesday, June 24, 2020

HARI PERTAMA DUA KELUARGA



Momennya sederhana. Tapi bagi saya ada tambahan "tum"-nya. Jadi momentum. 

Dua keluarga bertemu. Keluarga saya dan keluarga Pak Aris Widodo. Walau tak seluruhnya. Walau bentuknya juga sederhana. Tapi mempertemukannya tidak sederhana. Ada keyakinan yang mendahului. Ada visi yang difahami. Ada cita-cita yang diingini.

"Pak, kita besok ketemuan ya. Bareng anak-anak," ajak saya via Whatsapp.
“Agendanya apa?” tanya pak Aris.
“Sarapan saja. Rileks,” balas saya.

Memang jadinya hanya sarapan. Dan ngobrol ngalor ngidul. Saya dengan dua anak saya, Dhiya dan Uki. Pak Aris dengan tiga jagoannya : Farhan, Faiz dan Fahmi.

Targetnya hanya membuat anak-anak itu enjoy. Bahwa belajar tidak harus kaku dan serius. Belajar ternyata bisa sambil rileks.

Saya ingin mengajak anak-anak lihat kolam ikan percobaan yang hampir jadi bikinan Pak Aris. Ada tiga lokal yang sedang dibangun. Kolam tembok dibangun dari semen dan hebel. Jadinya memang rapi jali. Jadi mirip taman karena diselingi aneka tumbuhan. Ada jati solomon, kelor, juga kelengkeng. Rindang dan dingin. Aneka sayur seperti kangkung dan bayam sudah tumbuh subur. Suasananya jadi hijau dan segar jadinya.

Nanti akan ada saung buat ngobrol dan pertemuan. Ada juga kandang percobaan untuk anak ayam umur 0-20 hari dan mungkin anak kambing lucu 1-2 ekor atau kelinci. Untuk ayam pembesaran dan dan sekawanan kambing yang sudah besar sebagai bagian dari project integrated farming-nya keluarga Pak Aris ada di tempat lain.

Satu lagi yang unik adalah kandang percobaan untuk budidaya magot. Makhluk mungil sejenis belatung tapi bersih yang kaya protein. Ini untuk  pakan ikan dan unggas. Sekaligus mesin daur ulang sampah yang canggih tapi alami.

Saya sempat melihat dan memegang seonggok magot yang sedang bergerombol memangsa sayur sisa dapur. Betapa cepat dan rakusnya. Cocok untuk pemroses cepat daur ulang. Jauh lebih cepat dibanding cacing. Apalagi pembusukan oleh bakteri. Walaupun dari segi kekuatan, magot kalau jauh dari cacing. Magot berumur pendek saja. Harus segera dikonsumsi oleh ikan atau ayam. Kalau dibiarkan, maka akan jadi lalat BSF, Black Soldier Fly.

“Apa yang Farhan fahami dari homeschooling?” Tanya saya sambil melahap uli goreng dan secangkir teh manis hangat. Kami duduk melingkar berjauhan (phisical distancing) di pinggir jalan lingkungan Blok LA Perumnas, lokasi rumah Pak Aris.
“Homeschooling itu berarti belajar matematikanya di rumah,” jawab Farhan 
“Jadi, sekolahnya pindah ke rumah?” tanya saya lagi.
“Iya,” jawabnya. 

Saya ingin menggali pemahaman tentang apa itu belajar dan apa itu sekolah. Selama SFH (School from home, sekolah di rumah) ini saya mendapat gambaran bahwa belajar itu sudah semakin sekolah-sentris. Bahwa belajar itu ya apa-apa yang dikerjakan atau ditugaskan oleh sekolah. 

"Farhan sama Faiz katanya suka menggambar ya?" saya tanya lagi.
"Iya"
"Wah, calon desainer ini. Apalagi ada konveksi punya abinya"

"Kalau A’ Dhiya, pingin jadi apa?" Pak Aris giliran tanya ke Dhiya
"Pengusaha," Dhiya jawab singkat saja. Tipikalnya begitu.
"Nah, kalau Uki, senang belajar apa?"
"Matematika," jawab Uki.
"Kepingin jadi hafidz, nggak?" Saya tanya.
"Kepingin," jawab Uki dan Dhiya 
"Pada ingin mondok, nggak?" Tanya Pak Aris
"Nggak," jawab Dhiya
"Kenapa? Padahal sudah khatam Negeri 5 Menara?" Saya yang tanya
"Nggak ingin aja," timbal Dhiya. Khas jawaban anak sekarang.
"Ingin sih, tapi nggak jadi?" Jawab Farhan.
"Kenapa?" Saya tanya
"Ya, nggak jadi aja," jawab Farhan. 

Lalu obrolan tiba pada tema aktual.
"Apa beda dan persamaan Atta Halilintar dan Ferdian Paleka?" Saya memancing dengan pertanyaan.
"Siapa itu Pak?" Tanya pak Aris ke saya.
"Yutuber," bisik saya pelan.
"Samanya, keduanya sama-sama yutuber," jawaban anak-anak.
"Siapa yang suka nge-prank?" Saya tanya balik 
"Dua-duanya, sama-sama suka nge-prank." Rupanya anak-anak cepat nyambung kalau ditanya tokoh yutuber.
"Bedanya?" Saya kejar sedikit.
"Emmmm….apa ya?" Di titik ini anak-anak mentok. Nggak bisa jawab. Berarti posisinya masih sebagai konsumen yutub. 

"Nah, ini bedanya…. kalau si Atta itu pengalaman hidupnya macam-macam. Komplet. Beda dengan satunya. Modal nge-prank doang." Saya sedikit jelaskan beda si Atta dan satunya.

Sengaja saya memilih Atta Halilintar sebagai contoh. Mewakili yutuber papan atas yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengikuti jejaknya. Yang ingin kaya dari yutub.

Singkatnya, para millenial begitu terobsesi jadi yutuber. Tanpa memahami proses bisnisnya. Yang penting jadi yutuber. 

Lalu agar video dilihat banyak orang muncullah "kreativitas" membuat konten yang bisa dilihat banyak pengunjung. 
Di sinilah muncul kenaifan. Karena terobsesi untuk cepat terkenal, maka dipilihlah konten yang tujuannya semata membuat terkenal. Diantaranya yang dijadikan andalan adalah nge-prank. "Ngerjain orang" kalau dalam istilah sehari-hari.

Yang lainnya ada yang membuat dialog lucu dan absurd pasangan yang lagi pacaran. Sedangkan yang serius dengan membuat podcast. Yang lain bikin joged aneh-aneh. Ada juga yang nekad buat konten nyerempet pornografi.

Yang jelas banyak yang jauh dari manfaat secara pendidikan. Bahkan bisa merusak akhlak. Misalnya, jadi nggak tau malu. Hanya demi konten. Ideologinya benar-benar ideologi pasar. Views, like, dan subscribe sudah jadi tuhan era sekarang, barangkali.

Begitulah, ini hanya ulasan sekilas dari fenomena yang melatarbelakangi saya membuat project yang manual dan konvensional untuk anak-anak saya. Yang jauh dari selera kebanyakan anak sekarang yang serba teknologi dan gadget. Macam bikin rumah cacing, atau ternak lele dalam ember (budikdamber). Budidaya ubi, kangkung, bayam, dll. Tujuannya, biar anak-anak saya tahu proses alamiah. Manual. Konvensional. Tradisional. 

Saya yakin, anak-anak itu perlu keterampilan petukangan. Tahu cara memakai gergaji, palu, pisau, golok. Tahu cara buat kandang ayam. Buat kompos. Manjat pohon dll.

Anak-anak harus tahu matematika terapan untuk hitung laba rugi. Membuat perencanaan bisnis sederhana beternak ikan. 

Mereka perlu tahu perilaku makhluk hidup. Ternyata berbeda memperlakukan lele dan ikan nila. Beda dengan ikan patin dan ikan mas. Lebih berbeda lagi nanti saat "bergaul" dengan kucing dan kambing.

Saya ternyata tidak sendiri. Banyak orang tua di luar sana yang juga was-was dengan perilaku anak-anak sekarang. Tapi bingung menyikapinya. 

Sebagian ortu memakai pemaksaan yang berujung konflik antara generasi. Sebagian lagi cuek, lalu tetiba "kehilangan" anak-anaknya dibawa larut daya tarik internet bagai tersedot ke dalam pasir hisap yang susah keluarnya.

Saya semakin meyakini pentingnya kegiatan yang "manusiawi" ini karena yang memilih aktivitas konvensional, manual dan tradisional adalah seorang Bill Gates (Microsoft), juga Steve Jobs (Apple), Tim Cook (Google)  dan Evan Williams (pendiri Twitter) yang kampiun teknologi itu. Anak-anak mereka ternyata tidak dilepaskan begitu saja bergaul dan larut dalam keasyikan bergawai.

"Abi ingin kalian menjalani proses alamiah seperti yang dialami Atta Halilintar. Jangan hanya lihat saat sudah jadi yutuber. Dia masih muda tapi sudah beragam pengalaman dan kegiatan. 

"Dan ingat, bahwa kita harus tuntas di satu tema kegiatan. Misalnya, ternak lele. Itu harus tuntas. Bisa membiakkan lele, memelihara, hingga bikin kolamnya. Tahu cara menyiapkan airnya. Ngukur pH-nya. Juga bikin pakannya. Hingga bisa menjual dengan harga yang menguntungkan. Disamping sedekah lele ke tetangga.

"Terus ada ilmu yang diperlukan. Ilmu agama, matematika dasar, bahasa Arab, inggris, tahsin Qur'an. Semua ilmu yang kita perlu. Walau tak suka. Selainnya silakan pelajari ilmu yang disukai."

Begitulah, ngombrol saja. Sambil menyantap sarapan pagi. Ada ayam goreng. Tahu bakso, uli dan bontot. Diselingi minuman teh manis hangat. Juga saling ledek antar saudara.

Sebentar kemudian sudah jam sembilan. Kami pun kembali pulang. 

Berikutnya, sepertinya harus bawa raket badminton. Biar anak-anak itu berinteraksi lebih seru lagi. Sekalian berolahraga. Sekalian ngobrol lagi.


Karawang, 23 Juni 2020

Friday, June 12, 2020

PANGAN, SAMPAH dan PENDIDIKAN KITA



Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid-19. Terutama yang rentan secara ekonomi. Karena beberapa keluarga mengandalkan mata pencaharian harian. 


Seperti ada tetangga yang ditinggal suami meninggal, lalu jadi ngojek online. Langsung drop saat sosial distancing mulai berjalan. Tetangga yang biasa jualan makanan, minuman, dan aneka kebutuhan sehari-hari di jalan raya perumnas Karawang saat akhir pekan sudah tak bisa lagi. Ada juga yang satu-satunya sumber penghasilan dari gaji di perusahaan sementara terhenti karena dirumahkan. Sebagian ada yang mulai menjual aset.


Kejatuhan ekonomi keluarga yang dialami beberapa keluarga sahabat dan tetangga akibat terjangan wabah Covid-19 membuat alarm di otak saya berbunyi keras. Tanda ada kegentingan untuk berfikir. Mencari tahu apa sih permasalahannya?  Jangan-jangan keluarga saya juga "hanya" beruntung saja. Karena tempat bekerja tidak serapuh beberapa sektor usaha swasta yang segera merumahkan karyawannya.


Bagaimana kalau benar-benar saya dirumahkan lalu kehilangan penghasilan rutin seperti sekarang? Apakah saya mampu survive dan mendapat pemasukan baru? 


Ketidakmampuan keluarga memenuhi pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok ini seperti menabrak konsep tauhid. Bahwa Allah yang menjamin rizki. Kok bisa ada manusia tak makan?


Tapi kalau diingat bahwa Allah sendiri menciptakan manusia itu berproses. Saya jadi berkeyakinan ada masalah dalam cara berproses manusia mendapatkan rizki.


Kemudian kasus kedua. Beberapa waktu lalu ramai di grup WA di RW tempat saya tinggal ribut karena petugas sampah terlambat datang. Tumpukan sampah sudah mulai terlihat bertumpuk di depan rumah warga. Mulai menebarkan bau tak sedap. Pemandangan jadi mulai kumuh.


Sebelumnya, di periode RW lalu, sampah tidak begitu diributkan. Karena sudah diambil dulu oleh petugas lingkungan dan dikumpulkan dulu di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Masalah sampah di rumah warga pun selesai. Tapi beberapa warga yang tinggal di sekitar TPS protes. Karena bau yang menyengat.


Di periode RW yang sekarang, kebijakannya diubah. Sampah diangkut langsung dari rumah-rumah untuk diangkut ke TPA. Pake armada mobil box. Kalau armada sampah tepat waktu, ini jadi solusi. Sebaliknya kalau pas telat seperti paska lebaran, tiba-tiba jalan lingkungan jadi tempat parade sampah.

 

Masalah sampah sepertinya jadi sebab orang enggan jadi pengurus RW. Karena masalah sampah ini tak pernah selesai.

 

Padahal, kita sendiri yang menghasilkan sampah itu. Kenapa sesuatu yang sehari-hari kita alami masih menyisakan masalah yang tak kunjung usai? Kita seperti hobi terjerumus pada lubang setiap hari. Padahal keledailah yang suka dijadikan contoh terperosok di lobang yang sama. 


Maka ketika saya bicara pendidikan, kalau mau menilai keberhasilan atau kegagalan maka lihatlah cukup dua hal di atas. Kalau memang bisa dikelola dengan baik, maka itu pertanda pendidikan yang baik. Barulah kita layak bisa berbicara yang lebih tinggi tentang pendidikan. Misalnya tentang kualitas, prestasi, daya saing, atau tentang generasi kreatif 4.0 dan sebagainya.


Tetapi kalau dua hal di atas ini tidak berhasil, anak didik kita masih gagap, maka kita harus merombak dasar pendidikannya. Jelas itu salah di awal. Salah di pondasinya.


Jangan dulu bicara pembelajaran online, karena ini hanya cara belajar. Tapi mental belajar yang harus dibenahi.


Di sini saya ingin to the point. Juga tak ingin berteori. Karena saya bukan orang di dunia pendidikan formal. Tapi saya ingin langsung aksi dengan "menjerumuskan" anak-anak saya ke dua isu di atas. Tentang ketahanan pangan dan pengelolaan sampah. 


Karena pangan terkait dengan ketuhanan. Sedangkan kebersihan adalah setengah dari keimanan.


Di tulisan sebelumnya saya berbicara tentang urban farming. Ini terkait dengan pangan. Project ini memang mulai berjalan, tapi  masih harus diperbaiki. Tak masalah. Justru saya menikmati proses coba-cobanya. Sekalian mengajak anak-anak terlibat dalam proses coba-coba itu.


Selanjutnya adalah project sampah. Bagaimana agar terjadi zero waste. Tidak ada sampah yang dikirim ke TPA atau TPS, karena sudah habis diolah di rumah. 


Kalau sampah anorganik sudah biasa dipilah. Lalu diberikan ke tetangga yang suka mengepul barang bekas.  Sedangkan yang organik, baru dibuat kompos. Sebelumnya sudah praktek Takakura. 

Sayangnya belum Istiqomah.


Saya yakin ini hanya kemauan saja. Karena tidak ada yang sulit. Sekarang cara bikin pupuk cair dari limbah dapur sudah ada di yutub. Tinggal cari. 


Ya, salah satu aspek penting pendidikan adalah bersabar dalam menjalani proses yang lama. Karena  ini juga yang akan membentuk karakter itu.




RUMAH CACING?



Wow! Saya menulis astronomi? sebuah ilmu dengan tingkat kerumitan yang tinggi?


Anda kali ini salah tebakan! Saya tidak bicara tentang Lubang Cacing atau Worm Hole yang ada di luar angkasa. Bahkan punya teropong pun tidak.  Saya hanya belajar astronomi itu dari aplikasi Stellarium.  


Nah, kalau yang ini memang benar-benar rumah cacing. Sungguhan.  


Adalah kebutuhan untuk menemukan pakan alternatif buat lele dalam ember. Untuk memenuhi kebutuhan asupan makanan bergizi tetapi terkendala suplai. Adapun pelet yang bisa dibeli di toko peternakan atau toko akuarium ternyata menimbulkan efek samping. Membuat beberapa anak lele kembung. Lalu mati. Mengambang.


Tetapi kendalanya adalah ketika memilih cacing sebagai sumber pakan, bagaimana untuk menjamin keberlangsungan pasokan? sedangkan halaman rumah kami sempit. Bukan ladang sawah yang luas?


Qodarullah, sebagian pekarangan kami dibiarkan berupa lahan yang tidak di tembok semen. Juga ada yang ditanami beberapa tanaman. Dari situlah ternyata banyak cacing tersembunyi di bawah pot.

Saya gali sedikit, maka munculla makhluk panjang licin yang membuat sebagian orang merasa geli atau jijik itu. Tetapi kita tahu kadar proteinnya sangat tinggi. Kalau tidak salah sampai 70%. 


Lalu kami kumpulkan makhluk menggemaskan itu. Kemudian ditaruh di pot persegi yang sebelumnya sudah kami beli. Untuk nutrisi ditambahkan potongan daun lidah buaya dan daun lainnya. Lalu dibiarkan.


Haripun berganti hari. Ternyata ketika diangkat pot atau rumah cacing itu di bawahnya teronggok tanah yang keluar dari perut ikan cacing. Sangat subur. Inilah yang dikatakan dalam literatur bahwa cacing memang menyuburkan lahan.


Jadinya saya menemukan alternatif sederhana sumber makanan ikan. Ini juga sebagai contoh bagaimana kita bisa menciptakan nilai tambah dari apa yang ada di sekitar kita. Cacing yang sebelumnya hanya menyuburkan lahan itu, ternyata kita bisa membuat nilai tambah.


Kita akan melihat ada setidaknya tiga manfaat : 


Pertama, untuk mendaur ulang sampah organik dari daun-daun yang kita ambil atau dari yang sudah busuk. Kemudian si cacing itu berkembang biak dan perilaku cacing memunculkan pupuk yang sangat subur.


Kedua, anak-anak cacing yang sudah agak besar sebesar lidi kira-kira ini yang kita ambil sebagai pakan ikan. Kita bersihkan dulu. Jangan lupa baca basmalah. Lalu potong-potong cacing itu. Lalu kita berikan ke anak-anak lele. Ternyata luar biasa sambutan si lele. Sangat antusias. Bersukacita. Alias rakus. Dalam sekejap lenyap itu potongan-potongan cacing.


Setelah menemukan prototipe rumah cacing, maka selanjutnya adalah menghitung berapa jumlah rumah cacing yang memadai untuk memasok pakan lele sebanyak katakanlah 100 ekor.


Ini yang akan kita coba hitung. Sehingga target ke depan kita tidak perlu pelet. Cukup dari cacing yang kita ternakan atau makanan sisa yang berupa limbah dapur. Harapannya limbah organik dari dapur itu tidak terbuang ke tempat pembuangan sampah. Tetapi kita olah sendiri menjadi pupuk atau bahan makanan ikan.


Ketiga, ini adalah bagian dari ide besar membangun kemandirian pangan dari rumah. Yakni dari apa-apa yang ada di sekitar kita. Kita olah. Kita beri nilai tambah. Sekaligus sebagai bahan pembelajaran anak-anak kita, bahwa ada peluang yang menjadikan sesuatu yang selama ini ini terabaikan menjadi bermanfaat dan bahkan bernilai ekonomi. Kita bisa baca literatur tentang nilai ekonomi dari cacing tanah.



Friday, June 5, 2020

MANA CONTOHNYA?



Sehebat apapun sebuah gagasan, kalau tanpa real project jadi tidak terlihat hebat. "Ah, teori?!" Ungkapan ini sepertinya mewakili. Begitupun dengan pendidikan. 


Gagasan pendidikan fitrah, aqil baligh, sekolah karakter, sekolah juara, strenght based education, pendidikan berbasis keluarga, sekolah "manusia", sekolah ramah bakat, pendidikan yang memerdekakan dll akan tidak dilirik kalau tak ada bukti yang terlihat. Buktinya pun harus masif. Tidak satu dua orang saja. Alias bukan kasuistik.


Sebaliknya, salah satu sebab kenapa Rumah Hafalan cepat diterima karena output-nya jelas. Padahal gagasannya sederhana, hanya menghafal. karena sederhana itu, jadinya mudah difahami. Jadinya mudah diterima. Hasilnya langsung ketahuan. Jumlah yang dihafal anak, bisa Anda cek di tempat.


Maka, inilah tantangan terbesarnya. Memberi bukti, bukan sekedar janji.


Kalau bicara WHY, saya kira semua setuju. Tentang filosofi dari gagasan hebat ini.Apalagi syiarnya sudah tersebar ke empat penjuru mata angin. Semua orang tua saya yakin setuju dengan konsep mandiri di usia baligh. 


Karena itu, saya ingin mengusulkan langkah nyata : membuat model, percontohan atau prototipe.


Dimana dengan model ini, dari A-Z proses pendidikan ideal ini akan bisa terbaca, terlihat.  Seperti melihat ikan di aquarium. Sehingga dinamika pihak-pihak yang terlibat dan bersinergi itu juga bisa dipelajari. Hasilnya  juga terlihat dan bisa ditelusuri prosesnya.  Sehingga kenapa berhasil dan kenapa belum berhasil bisa ditelusuri. Baru setelah itu dipersilakan untuk melakukan adjusment. Disesuaikan sesuai keadaan individu dan keluarga.


Untuk membuat prototipe itu langkah, saya coba rangkum dulu pihak-pihak yang terlibat beserta fungsinya:


Home Education


Ini sebagai konsep dasarnya. Sebagai konsep yang  wajib dijalankan oleh semua keluarga. Perlu penegasan bahwa apakah anak sekolah maupun tidak, fungsi HE ini wajib dijalankan orang tua. Konsep ini sekaligus untuk mengembalikan pendidikan ke habitat aslinya, di keluarga.


Idealnya sudah ada contoh kurikulum HE yang dijadikan acuan. Tapi bukan untuk di salin-tempel. Hanya sebagai acuan. Untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi setiap keluarga.


PKBM atau Sekolah


Kita memerlukan lembaga penyelenggara administrasinya. Sesuai peraturan, yang  bisa kita pilih misalnya PKBM untuk mewadahi Homeschooling. Ini untuk legalitas dan untuk penataan administrasi. Juga memudahkan peserta memanfaatkan akses pendidikan yang disediakan pemerintah. 


Selain PKBM, kalau ada sekolah yang bisa dijadikan sekolah induk dengan pembelajaran yang fleksibel bisa dicoba. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah di Salatiga, pada awal berdirinya menginduk ke salah satu sekolah negeri.


Selain itu, sekolah formal yang sudah menerapkan sinergi dengan orang tua juga sudah ada. Sekolah alam dalam hal ini bisa jadi pilihan.


Keluarga Rujukan


Karena pendidikan berbasis keluarga, maka anggotanya adalah keluarga. Maka wajib ada keluarga yang dijadikan rujukan. Berfungsi sebagai contoh, sekaligus mentor. Ada dua kategori. Ada keluarga rujukan akhlak. Ada juga keluarga rujukan bakat. Idealnya ada di satu keluarga. Tetapi untuk keperluan penataan bisa difungsikan salah satunya saja.


Keluarga Rujukan Akhlak, adakah keluarga rujukan terkait dengan implementasi pendidikan karakter. Mulai dari aqidah, ibadah, akhlak keseharian, sifat pembelajar, mengelola waktu, menata urusan, kesehatan fisik, penngedalian diri, serta kebermanfaatan.


Sedangkan Keluarga Rujukan Bakat lebih ke peran spesifik. Setiap keluarga yang sukses mestinya karena ada peran optimal yang berangkat dari bakat yang teraktualisasi. Misal keluarga pendidik, keluarga ustad, keluarga dokter, keluarga enterpreneur, keluarga akademisi, keluarga relawan, keluarga seniman dll.


Halaqah Parenting


Adalah pertemuan rutin yang diadakan untuk kepala keluarga (ayah dan bunda). Ini sangat penting untuk menjadi titik berangkat dan mengarahkan dinamika keseharian pendidikan di keluarga.


Maestro. Adalah person yang memiliki keahlian tertentu yang bersedia berbagi ilmunya.


Mitra Magang


Adalah orang atau lembaga yang bersedia dijadikan tempat magang.


Komunitas Parenting


Adalah wadah untuk edukasi dan aktualisasi konsep Home Education.


Fasilitator 


Adalah mitra orang tua, terutama ketika bicara pendalaman akademik. Salah satu fungsinya adalah mengkonstruksi pengalaman dan wawasan anak-anak kita menjadi tema ilmu pengetahuan yang terstruktur.


Proyek Bersama


Misalnya urban farming di perkotaan, atau desa wisata di pedesaan. Wisata Bakau di pesisir pantai sudah ada yang memulai.  Bisa juga seperti Kampung Inggris di Pare Kediri. Kampung Batik yang mengkhususkan pada batik khas setempat. Gagasan One Village One Product (OVOP) bisa diekplorasi lebih jauh. 


SDM Pendukung lainnya


Misalnya tenaga administrasi, humas dan media, serta para relawan.


Nah, saya tengah mencoba merangkai puzzle-puzzle di atas menjadi sebuah prototipe Pendidikan Aqil Baligh.


Semoga Allah memberi jalan, dan dimudahkan… aamiin…



 


KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...